Keniscayaan yang juga berbicara di negeri ini, Indonesia. Rekonstruksi dalam era reformasi yang ditandai dengan jatuhnya rezim orde baru tahun 1998 juga dipelopori peran aktif kalangan intelektual muda, model perjuangan serupa yang terjadi di Zimbabwe, Myanmar, dan Filipina sehingga dijuluki “student miracle”. Keajaiban yang diciptakan tangan-tangan insan terdidik.
Keajaiban itu cepat atau lambat juga akan terjadi di bumi Palestina. Sebuah ancaman yang sejak awal disadari betul oleh Zionis Israel. Memberi pendidikan sama artinya dengan memberi peluang rekonstruksi yang berarti kemerdekaan bagi Palestina. Skizofrenia itulah yang membuat Israel berusaha keras memutus rantai keniscayaan dengan menjadi psikopat bagi pendidikan warga Palestina. Tak heran jika sejak tahun 2000 hingga tahun 2007 tercatat 1.189 pelajar dan 107 tenaga pengajar Palestina ditangkap dan disiksa hingga 870 di antaranya terpilih menjadi syuhada. Ketakutan Israel akan kemajuan pendidikan di Palestina juga bicara melalui agresi yang menyebabkan 1.125 sekolah dan perguruan tinggi ditutup, 12 universitas yang terang-terangan dihancurkan atas perintah militer, dan 43 sekolah yang dengan paksa disulap menjadi barak pasukan di tahun 2007.
Pembodohan anak-anak Palestina sejatinya merupakan salah satu target terselubung di balik embargo ekonomi yang dilakukan Israel. Blokade dan penutupan di jalur Gaza menyebabkan 1.200 siswa yang lulus ujian tingkat SMU pada tahun 2008 terancam gagal melanjutkan studi mereka. Sarana dan fasilitas belajar pun otomatis terbengkalai, sekitar 69.970 siswa tingkat SD dan SMP tidak memiliki buku sekolah pada tahun 2007. Pendirian tembok pemisah di Tepi Barat pun tidak lain dilakukan untuk merampas hak pendidikan 2.898 siswa di propinsi Jenin, Tolkarm, dan Kolakiliah. Mutilasi pendidikan ini tidak hanya ditujukan secara fisik tetapi juga paradigma, Israel memaksakan pelajaran bahasa Ibrani dan memanipulasi sejarah‘tanah yang dijanjikan’dalam kurikulum sekolah dasar.
Pendidikan adalah nafas bagi peradaban, dan saat ini Israel tengah berusaha menciptakan hipoperfusi bagi otak peradaban Palestina (baca: insan intelektual). Meluluhlantakkan dan melimitasi upaya rekonstruksi ‘negeri para nabi’ yang tengah poranda itu dengan mengebiri pendidikan mereka. Akankah kita membiarkan skizofrenia yang memuakkan ini terus berlanjut? Membiarkan pembantaian eksistensi warga Palestina melalui pembodohan terstruktur berlangsung, hingga perlahan namun pasti melenyapkan Palestina dari peta dunia?
Jika Palestina dianalogikan seperti manusia yang sekarat, maka pertolongan pertama paling mendasar yang harus dilakukan ialah mengembalikan degup jantungnya melalui upaya resusitasi bernama pendidikan. Rekonstruksi itu hanya bisa dimulai oleh tangan-tangan intelektual, dan kemerdekaan Palestina hanya akan terwujud jika teorema pendidikan terpenuhi. Palestina butuh uluran konkret bangsa-bangsa dunia dalam menangani geliat pendidikan yang tengah terkapar di negerinya. Sebuah tindakan langsung. Tidak semata-mata berhenti pada konferensi-konferensi internasional yang sifatnya bergantung pada ‘belas kasihan’ Israel. Bagaimanapun, mengadvokasi kepentingan pendidikan warga Palestina melalui forum Internasional dengan mendesak Israel hanya akan berakhir sebatas wacana. Israel terlalu resisten dengan berbagai bentuk diplomasi. Berulangkali Ia menjilat ludahnya sendiri tanpa malu dengan mengkhianati klausal 50 dari perjanjian Jenewa ke 4 yang menuntutnya sebagai agresor untuk memudahkan yayasan-yayasan pelindung anak-anak dan pendidikan untuk menjalankan tugas sebagaimana mestinya di bumi Palestina.
Sebagai langkah awal, dibutuhkan konsolidasi berbagai pihak untuk membangun sebuah pusat penerangan dan informasi terutama di daerah Al-Quds untuk akses informasi ke seluruh dunia. Setiap negara, terutama yang mengaku sebagai negera muslim, harus bersatu padu mengerahkan pikiran dan finansial untuk membangun sebuah sistem pendidikan berbasis ‘rekonstruksi untuk pembebasan’ bagi warga Palestina. Upaya ini dapat dimulai dengan menjalankan proyek perekrutan tokoh dan para pemikir dari setiap negara untuk menjadi delegasi dalam pembentukan International Palestinian Education Committee Concerned, sebuah wadah “Komite Internasional Peduli Pendidikan Palestina” yang memiliki cabang di setiap negara peserta. Musyawarah Internasional yang pertama digelar hendaknya membahas komitmen bersama negara-negara dunia dalam membantu pendidikan Palestina. Komitmen ini dapat direalisasikan dalam bentuk ‘Affirmation of Palestinian Education’ sekaligus rumusan “Garis Besar Kurikulum Pendidikan Palestina” yang ditandatangani negara-negara peserta. Komitmen tersebut jelas melahirkan sebuah tanggung jawab bagi setiap negara yang tergabung untuk memberikan akses pendidikan bagi pelajar-pelajar Palestina. Langkah konkretnya dapat berupa alokasi 5% dari GNP (Gross National Product) masing-masing Negara untuk pendidikan Palestina. Wujudnya dapat berbentuk mata uang maupun fasilitas pendidikan. Rasanya adil karena proporsi uluran beasiswa ini akan berbeda antara negara berkembang dengan negara maju. Selanjutnya, setiap negara dapat menyediakan minimal 5 kursi di salah satu Universitas unggulan mereka bagi mahasiswa Palestina setiap tahunnya. Gratis, tanpa dipungut biaya sepeser pun.
Setiap mahasiswa Palestina yang mendapatkan beasiswa secara otomatis terikat dalam sebuah program pembinaan yang dinaungi oleh cabang komite di setiap negara. Program ini menggunakan sistem asrama dengan tunjangan fasilitas-fasilitas pendidikan. Tujuan utamanya ialah mencapai keseimbangan kecerdasan intelektual, emosional, maupun spiritual sebagai bekal rekonstruksi Palestina menjadi sebuah bangsa yang merdeka. Program pembinaan ini harus disusun secara kontekstual dengan kondisi Palestina karena di sanalah sejatinya mereka akan mengaplikasikan ilmu yang saat ini diperoleh. Pertama, program ini harus merupakan satu paket yang sinergis dengan institusi pemberi beasiswa akademis. Kedua, program ini meliputi pendidikan spiritual yang intensif dan wajib dijalani setiap pelajar Palestina, dapat berbentuk halaqah, kuliah, atau pun jaulah dengan sistem muhasabah yang diterapkan untuk evaluasi setiap bulannya. Ketiga, program ini harus mengakomodasi pembinaan khusus seperti pendidikan medis dasar, militer, strategi perang, teknologi dasar persenjataan, ilmu politik, bahasa asing, dan hubungan internasional, tidak perduli apapun bidang akademis yang saat ini tengah digeluti. Program pembinaan ini juga bertanggung jawab memberikan jalur networking bagi pelajar Palestina melalui link-link seminar, forum ilmiah, maupun konferensi Ilmiah bertaraf Internasional. Dalam hal ini, ada pula elemen lain rekonstruktor bangsa selain mahasiswa yang tidak boleh dilupakan. Mereka adalah insan pendidik. Dunia hendaknya juga memberikan perhatian lebih kepada mereka dengan menyisipkan program beasiswa up grading dan pelatihan bagi guru-guru Palestina.
Terakhir, Sebagai elemen elite masyarakat atau—dalam bahasa Soe Hok Gie—“the happy selected few”, kaum intelektual memiliki sebuah tradisi yang menjadi refleksi kematangan intelektual buah pendidikan yang dienyam; budaya literasi : aktif membaca dan produktif menulis. Budaya inilah yang perlu ditanamkan dalam sistem pendidikan yang dirancang untuk Palestina. Pelatihan literasi berkala bagi warga Palestina yang dipelopori negara-negara komite dapat dilakukan setiap 6 bulan sekali. Komite perlu menyediakan situs khusus untuk mempublikasikan karya literasi dari insan intelektual Palestina sebagai feed-backnya. Mahasiswa Palestina yang memperoleh beasiswa juga harus dididik secara intensif untuk mampu melahirkan minimal satu produk literasi berbentuk jurnal setiap tahunnya. Ini dapat meningkatkan bargaining position Palestina di mata internasional. Mengubah dunia melalui goresan pena merupakan manifestasi yang hanya bisa dilahirkan oleh pendidikan, sebuah langkah awal bagi rekonstruksi Palestina menuju kemerdekaannya.
"Bila saja Anda memberi saya 26 serdadu, maka saya akan menaklukkan dunia!" Ketika ditanya apakah yang dimaksud 26 serdadu itu, Franklin menjawab, "Huruf A sampai Z, berikan sebuah pena dan saya akan mengubah dunia!"
Benyamin Franklin
0 komentar:
Posting Komentar