Peringatan Hari Bumi di Pendopo Tjipto Boedoyo
Berjam-jam Berendam dalam Lumpur Kotoran Sapi
Kerusakan lahan pertanian semakin merebak akibat banyaknya bahan kimia yang masuk ke tanah. Puluh-an seniman mencoba merasakan sakitnya tanah dengan mengubah diri mereka menjadi manusia tanah. Bagaimana kisahnya ? bersambung..(welech..)
Kelihatannya desa mangunsuko kec.dukun Magelang ini masih sangat kental dengan budayanya..
*kabarnya sich :
HALAMAN padepokan seni Tjipto Boedoyo, Desa Tutup Ngisor Kecamatan Dukun, kemarin siang tiba-tiba ramai. Ratusan siswa dari SMAN 4 Semarang dan SMA Nasima Semarang beserta guru pendamping sedang melaksanakan kegiatan live in edukasi pertanian berbasis alam dan budaya di komunitas Gubug Selo Merapi (GPSi) dalam rangka peringatan hari Bumi Sedunia.
Peringatan Hari Bumi 22 April ditandai dengan jelajah alam dan refleksi budaya pertanian di kawasan Gunung Merapi, Kabupaten Magelang, oleh para siswa. Jelajah alam dilakukan dengan jalan kaki dari gedung GSPi, antara lain melewati areal pertanian, jalan kampung, sungai Lamat, dan refleksi budaya petani setempat. ”Kebetulan hari ini bertepatan dengan peringatan Hari Bumi,” kata Kepala Bidang Usaha Pertanian Dinas Pertanian, Tanaman Pangan, dan Holtikultura Provinsi Jawa Te-ngah, Agus Yuwono, di Magelang, Rabu.
Ya, instansi itu bekerja sama dengan GSPi Magelang menggelar program ini selama tiga hari, 21-24 April, dengan peserta sebanyak 84 siswa dari SMA Negeri 4 Semarang dan SMA Nasima Semarang. Para siswa tinggal di rumah-rumah petani di Dusun Grogol, Desa Mangunsuko, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang di kawasan barat Gunung Merapi di sebelah utara Kali Senowo yang aliran airnya berhulu di kaki Merapi.
Dalam kegiatan itu, mereka juga mengikuti kegiatan sehari-hari petani setempat terutama terkait dengan pengolahan lahan pertanian, dialog alam dan pertanian, serta menggelar pementasan kesenian.jelajah alam dan budaya petani bermanfaat bagi para siswa agar mereka kelak tidak salah saat menjadi pemimpin. ”Minimal punya referensi tentang lingkungan, bisa mengenal bagaimana petani, proses bertani, menanam yang sehat, penggunaan pupuk,” katanya.
Koordinator live in edukasi pertanian berbasis alam dan budaya GSPi, Sutar menyatakan, pentingnya penghargaan manusia terhadap alam dan lingkungan terutama dari kalangan pemuda.”Sikap mencintai air, tanah, dan tanaman ditanamkan kepada mereka sejak muda,” katanya.
Program ini, katanya, telah dilakukan komunitas itu sejak beberapa tahun terakhir dengan sasaran terutama kalangan kaum muda dan anak-anak sekolah. Mereka yang telah mengikuti program itu, katanya, berasal dari berbagai kota besar di Pulau Jawa. ”Supaya kaum muda kota menghargai pertanian,” katanya.
Selama April, katanya, ratusan siswa dari sejumlah SMA antara lain di Yogyakarta, Jakarta, Bogor, dan Semarang menjalani program tersebut. Saat para siswa itu mengikuti rangkaian program live in, mereka juga mendapatkan suguhan pementasan tentang alam dari para seniman Padepokan Tjipto Boedojo Tutup Ngisor Desa Sumber, Kecamatan Dukun, pimpinan Sitras Anjilin.
Selanjutnya acara di hari kedua para siswa disajikan aksi para seniman petani itu menyuguhkan pertunjukan bertajuk Tarian Kesuburan di halaman padepokan yang didirikan tahun 1937 itu. Puluhan seniman dari padepokan Cipto Budoyo melumuri diri mereka dengan lumpur. Secara bergantian tubuh mereka benamkan dalm lumpur. Sesekali mereka meronta-ronta kesakitan saat puluhan benih padi ditancapkan dalam tubuhnya.
Para seniman yang telah menjadi manusia lumpur gerakan yang terlihat menunjukkan bahwa tanah telah kehilangan kesuburan akibat penggunaan pupuk kimia secara berlebihan. Selama berjam-jam mereka tidur di dalam tanah berlumpur yang telah ditaburi kotoran sapi. Bau yang menyengat dari kotoran sapi itu tidak membuat para seniman mengurungkan untuk mempraktekkan diri menjadi ’tanah’. Bahkan, mereka justru semakin ’gila’ memainkan peran mereka. Penonton pun dibuat terbengong-bengong dengan aksi mereka.
”Pementasan ini sindiran terhadap pertanian dengan pestisida, tanah kehilangan kesuburannya, harus ada upaya mengendalikan penggunaan pestisida dan kemudian kembali ke pertanian organik,” kata Sitras.
Jika sudah demikian, katanya tanah yang akan didiami oleh generasi penerus di masa mendatang tidak akan menghasilkan apa-apa. Karena semua tanah sudah tercemar dengan bahan kimia. Seperti dalam performance art itu, diperagakan dengan orang berdasi yang juga masuk ke dalam lumpur sebagai simbol modernisasi. ”Orang berdasi yang masuk ke lumpur adalah wujud hal-hal yang berbau modern yang bisa membuat tanah rusak, seperti bahan-bahan kimia” lanjutnya.
Sehingga, hal itu berakibat pada hilangnya kesuburan tanah. Seperti terlihat dalam akhir dari performance art itu. Di mana, tanah ditancapkan nisan berbentuk ranting pohon kering dan dibubuhi kembang tujuh rupa.
0 komentar:
Posting Komentar